Tuesday, September 20, 2016
Sunday, September 18, 2016
Lingkaran Cinta
Berawal
dari masa ketika masih putih abu-abu. Dari sekadar formalitas, karena dulu di
sekolah saya ini adalah program wajib minimal satu tahun. Disertai pula dengan
embel-embel bagi yang tidak ikut selama satu tahun, tidak akan mendapat
sertifikat lulus kegiatan mentoring, yang nantinya akan menemui kesulitan saat
pengurusan ijazah kelulusan. Alhasil saya berusaha ‘bersemangat’ untuk
mengikuti. Sampai kemudian tiba di akhir tahun pertama menjelang kenaikan
kelas. Pilihan diberikan, mau lanjut atau tidak dipersilakan. Saat itu saya
sudah memutuskan akan menyampaikan untuk berhenti dulu di pertemuan terakhir
mentoring. Namun ternyata, mbak mentor saya menyarankan dengan meyakinkan saya
untuk lanjut. Berhubung saya merasa tidak enakan dengan beliau, akhirnya luluh
juga untuk lanjut.
Dari sini mulai bermula rasa yang
lebih berbeda. Dikenalkan beliau dengan istilah halaqah, atau bahasa singkatnya
liqo. Hingga kemudian saya mulai menikmatinya. Bagi saya halaqah saat itu
adalah tempat berteduh yang sangat ditunggu. Belum juga kelas usai, masih
sekitar satu jam sebelum diakhiri, saya dan kebetulan seorang kawan sekelas
yang satu halaqah dengan saya sudah tak sabar menanti untuk segera liqo usai
pulang sekolah. Tempat kami berbagi cerita bahagia, berbagi rasa sedih, berbagi
dan memperoleh ilmu agama tentunya, dan sesi qodhoya-rowa’i kala itu sangat
terasa paling panjang karena selalu diiringi dengan curhat. Saling berbagi
informasi dan juga menguatkan di organisasi yang diikuti masing-masing. Hingga
akhirnya fase putih abu-abu itu berpindah ke fase kampus.
Pertama kalinya berada di dunia
“luar” yang jauh berbeda. Bukan lagi comfort
zone layaknya dulu yang begitu mudah menjumpai lingkaran-lingkaran entah di
halaman sekolah, di serambi masjid, di pinggir lapangan, di kelas, dimana saja
hampir setiap hari dijumpai sekelompok lingkaran. Hingga qadarullah,
dipertemukan lagi dengan lingkaran yang baru. Kultur dan karakter yang cukup
terasa berbeda karena berbagai kondisi yang lebih heterogen. Hingga kemudian
Allah menakdirkan saya untuk belajar berbagai rasa disini. Rasa yang sama dan
berbeda. Manusiawi mungkin kalau dalam kamus otak saya kala itu mencoba
membandingkan rasa yang berbeda itu. Namun Allah tidak berhenti membiarkan saya
memanusiawikan rasa itu.
Hingga kemudian dari sana saya
belajar banyak. Tentang empati, bersabar, memahami, memperbaiki amalan harian,
komitmen, bahkan sampai cara mengusir kegalauan. Berbeda kondisi akademis,
aktivitas lembaga, latar belakang keluarga, menjadi bumbu penyedap tersendiri.
Bersyukurnya murobbiyah kami adalah seorang yang penyabar, penyayang dan
tangguh. Menguatkan kami dan mengingatkan kami. Walaupun pernah suatu ketika
saya merasa kecewa terhadap beliau, tapi kemudian saya menyadari bahwa titik
penyebabnya sebenarnya saya sendiri. Ada nasehat dari beliau yang masih saya
catat: Sesungguhnya Allah sedang menguji, barangsiapa bersabar, Allah akan
memberikan pahala yang besar. Sesungguhnya pelipur lara seorang dai adalah
ketika bertemu dengan saudaranya, ia mendapatkan energi dari saudaranya, tidak
semua orang mampu mengambil sisi ini, hanya orang-orang yang mampu melapangkan
dadanya lah yang bisa. Manfaatkan persahabatanmu dengan siapapun sebagai ajang
belajar. Karakter apapun yang Allah hadirkan, sesungguhnya Allah sedang
berusaha memperbaiki kekurangan kita.
Bersyukurnya Allah masih memberikan
kesempatan hari ini saya berada dalam lingkaran-lingkaran tersebut. Allah masih
akan terus hadirkan kekurangan diri kita untuk akhirnya perlahan-perlahan kita
memperbaikinya. Dalam proses perjalanan ini, perlahan saya mulai menyadari.
Bukan tuntutan untuk pribadi yang harus kita kedepankan. Karena sesungguhnya
ketika kita melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab bersama, dari sana
pula kebutuhan kita tercukupi lebih. Berkali-kali pula ujian komitmen dan
keistiqomahan hadir. Saya pun mulai belajar bahwa ada hal yang lebih besar
untuk kita perjalan-kan bersama dalam langkah ini. Ada pula yang harus kita
ingat, bahwa mentor kita, murobbiyah kita, pun adalah manusia dengan
keterbatasan 24 jam mereka. Murobbiyah kita adalah manusia yang Allah pilihkan
untuk kita. Allah memilihkannya langsung untuk menguatkan kita dalam perjalanan
ini. Layaknya kelakar Ali bin Abi Thalib kepada seorang rakyatnya yang menuntut
dia dalam hal memimpin, murobbiyah kita adalah cerminan diri kita. Seorang
pemimpin akan nampak sangat baik, jika rakyatnya juga orang-orang yang
mencintai pemimpinnya dan patuh padanya, serta menguatkan kepemimpinannya.
Halaqahku kini dan nanti. Bahwa ini
tidak sekedar pencapaian bagaimana kita terpuaskan oleh rasa ukhuwah dan ilmu
saja. Tapi juga iman, dan terus membersamai dalam perjalanan dakwah. Jikalau
kemarin masih banyak kekurangan, pandanglah diri kita sendiri. Perlahan
memperbaiki, tapi istiqomah, untuk tidak kemudian mudah menghilang atau jatuh
lagi. Karena boleh jadi, hadirnya kita untuk disini bukan agar kita banyak
menerima, bukan agar batin kita selalu bahagia, namun hadirnya kita semua
disini adalah untuk banyak member, menebar manfaat.
Allah hadirkan mereka
Sebuah nasehat yang dulu beliau nasehatkan padaku:
“Manfaatkan persahabatanmu dengan siapapun sebagai ajang belajar. Ketika berbicara, jadikan itu sebagai latihan untuk memperhalus tutur kata dan mempercantik budi bahasa, Jadikan temanmu sebagai salah seorang guru yang mengajarmu budi pekerti ddan akhlak mulia”.
Karakter apapunyang dihadirkan Allah lewat teman kita, sesungguhnya Allah sedang berusaha untuk memperbaiki kekurangan kita....
“Manfaatkan persahabatanmu dengan siapapun sebagai ajang belajar. Ketika berbicara, jadikan itu sebagai latihan untuk memperhalus tutur kata dan mempercantik budi bahasa, Jadikan temanmu sebagai salah seorang guru yang mengajarmu budi pekerti ddan akhlak mulia”.
Karakter apapunyang dihadirkan Allah lewat teman kita, sesungguhnya Allah sedang berusaha untuk memperbaiki kekurangan kita....
Monday, September 5, 2016
Karena Ukuran Kita Tak Sama
Ingin mengutip tulisan Salim A. Fillah dalam bukunya "Dalam Dekapan Ukhuwah". Yang disini saya ambil dari web beliau. Spesial untuk Gathering Wisma FT-FH malam ini.
Sekalipun banyak kekurangan dalam kelancaran lisan, semoga manfaatnya tidak berkurang :)
Semarang, 05 September 2016 @Wisma Multazam
Karena Ukuran Kita Tak Sama
Sekalipun banyak kekurangan dalam kelancaran lisan, semoga manfaatnya tidak berkurang :)
Semarang, 05 September 2016 @Wisma Multazam
Karena Ukuran Kita Tak Sama
Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”
Diambil dari http://salimafillah.com/karena-ukuran-kita-tak-sama/
Friday, September 2, 2016
Emak, Bapak, aku Lulus!
Late post---pake banget.
Iya ini adalah jawaban. Dari sekian banyak post kegalauan dulu, walaupun tidak semua kegalauan yang pernah ada di blog ini hanya tentang ini. Yah, salah satu dari sekian.
Allah menjawabnya dengan salah satu nikmatnya, akhirnya wisuda. Terjawab sudah harap cemas, khawatir, dan berjuta rasa lainnya. Tepat di ujung tanduk itu, lepas kemudian sejumput khawatir dan ketakutan yang sekian lama menghinggapi. Seperti pernyataan klasik, tapi ini bukan akhir. Justru awal yang baru, untuk melebarkan sayap mimpi, harapan, dan membuka mata lebih. Semoga pun, Allah memberikan barokahNya, agar apa yang akhirnya teraih ini tak sekadar manis di awal. Tapi juga manfaat. Karena hasil tak akan mengkhianati usaha keras kita---beserta doa yang selalu memeluk kita dalam harap.
31102015
Iya ini adalah jawaban. Dari sekian banyak post kegalauan dulu, walaupun tidak semua kegalauan yang pernah ada di blog ini hanya tentang ini. Yah, salah satu dari sekian.
Allah menjawabnya dengan salah satu nikmatnya, akhirnya wisuda. Terjawab sudah harap cemas, khawatir, dan berjuta rasa lainnya. Tepat di ujung tanduk itu, lepas kemudian sejumput khawatir dan ketakutan yang sekian lama menghinggapi. Seperti pernyataan klasik, tapi ini bukan akhir. Justru awal yang baru, untuk melebarkan sayap mimpi, harapan, dan membuka mata lebih. Semoga pun, Allah memberikan barokahNya, agar apa yang akhirnya teraih ini tak sekadar manis di awal. Tapi juga manfaat. Karena hasil tak akan mengkhianati usaha keras kita---beserta doa yang selalu memeluk kita dalam harap.
31102015
Bersama Bapak, Ayah Juara Satu Se-Dunia |
Kawan Fakultas Teknik |
Terimakasih untuk Tanda Sayangnya Teman-teman :" |
Subscribe to:
Posts (Atom)