Teringat kurang lebih 6 tahun yang lalu, ketika salah seorang teman SD.ku, sebut saja I, merekomendasikan sebuah buku padaku. Judulnya "Catatan Seorang Demonstran". Aku mencoba mencarinya di Toko Buku Gramedia ketika aku diajak kesana. Akan tetapi waktu itu hasilnya nihil. Selalu saja kehabisan stok. Tahun pun berlalu dan waktu pun membuat aku lupa.
Kesibukan di SMA, membuatku sama sekali tidak ingat. Bahkan keadaan dan lingkungan membuatku sama sekali tidak bisa merasakan suatu 'rasa' yang dulu begitu menggelora dalam jiwaku. Jiwa yang bahkan seharusnya masih teramat polos. Sempurna. Aku benar-benar tidak ingat. Kalaupun sesaat aku mengingat, tapi serasa aku tak pernah merasakannya. Sepertinya itu dulu adalah jiwa seorang asing yang meminjam jasadku.
Aku sudah lulus SMA. Ranah perkuliahan pun aku masuki. Universitas terbaik di Kota Semarang. Dulu didirikan mengingat pada waktu itu Jawa Tengah belum mempunyai universitas negeri. Hanya yang terdekat –padahal kenyataannya cukup jauh- adalah universitas negeri di daerah Yogyakarta. Disini sebuah jiwa baru terbentuk. Bermula dari sebuah kemandirian yang mau tak mau harus aku rasakan. Menjadi anak kost. Memang, kakakku juga tinggal disana. Tapi 1 semester disana aku benar-benar harus mengurusi diri sendiri, tanpa ada teman yang 1 daerah dari asalku yang ku kenal. Aku belajar beradaptasi.
Aku sudah lulus SMA. Ranah perkuliahan pun aku masuki. Universitas terbaik di Kota Semarang. Dulu didirikan mengingat pada waktu itu Jawa Tengah belum mempunyai universitas negeri. Hanya yang terdekat –padahal kenyataannya cukup jauh- adalah universitas negeri di daerah Yogyakarta. Disini sebuah jiwa baru terbentuk. Bermula dari sebuah kemandirian yang mau tak mau harus aku rasakan. Menjadi anak kost. Memang, kakakku juga tinggal disana. Tapi 1 semester disana aku benar-benar harus mengurusi diri sendiri, tanpa ada teman yang 1 daerah dari asalku yang ku kenal. Aku belajar beradaptasi.
Iseng, sungguh hanya berawal dari iseng dan penasaran. Seorang gugup dan pemalu ketika di depan publik, tiba-tiba saat acara ospek fakultas, fakultas teknik, dengan gagahnya maju dan memberikan orasi singkat di depan ribuan mahasiswa baru dan kakak angkatan yang menjadi panitia.
Alloh tahu, tapi aku tidak tahu. Aku baru diberi tahu beberapa bulan setelahnya. Saat aku maju orasi di sebuah gedung kebanggaan universitasku, ternyata ada yang memperhatikan, kemudian nyeletuk kepada teman di sampingnya. “Ini dia! Hei, lihatlah, dia adalah calon adik angkatanku di jurusanku. Seorang anak D3, tapi tak nampak sedikit pun rasa minder dari raut wajahnya”, katanya dengan sumringah. Namanya Kak B. Seorang yang selalu berkata dengan penuh semangat. Everyday, everytime. Busyet dah nih orang! Kritis pula! Bisa nggak ya aku seperti itu?
Semacam mendapat berkah dari ‘keisengan’ pas ospek fakultas. Aku mendapat kehormatan mewakili maba dalam upacara penyematan sebagai simbolik dimulainya ospek jurusan. Oh yes! Walau sedikit melenceng dari niat awalku. Yasudah, lah. Padahal awalnya aku berniat akan menjadi ‘rebel’ agar dicap sebagai anak urakan. Sepertinya mulai bosan dengan sesuatu yang ‘terlalu umum’. Tapi keadaan merubah. Kemudian hari-hari berlanjut. Deg-degan dengan semangat baru seorang maba, fresh, kelabakan, capek, bangun pagi, begadang, bolak-balik. Tapi semua terkenang dengan amat manis.
Taste the new you! Terus kunikmati. Tapi tetap ada pemikiran yang tak boleh ku abaikan yang telah mendarah daging dari sejak SMA, tepatnya di sebuah masjid ijo kebanggaan, ketika aku dikenalkan dengan sebuah kata unik bin ajaib yang pernah membuat seorang khalifah menangis tersedu-sedu. Amanah. Yah, memang hanya sebuah kata. Namun sakti mandraguna untuk meluluhkan hati. Entah mengapa, mengingat itu, kepalaku serasa berputar, perut mulas, tangan gatel-gatel alergi, kaki serasa tak bisa digerakkan, bumi gonjang-ganjing….(rasah terlau lebay, el!). Niatan menjadi salah satu staff di BEM FT-KM menjadi terasa memberatkan. Walau aku paham, jurusanku butuh orang untuk kesana. Tapi kan di jurusanku banyak orang???
Akhirnya, seorang dengan julukan ajaibnya, yang dulu aku hanya tahu kosakatanya tanpa tahu maknanya, saat kelas 1 SMP. Murabbi. Sebut saja Mbak N. Suer, dia sosok yang membuatku tak bisa menolak dan hanya bisa manggut-manggut. Ke-ngeyelan-ku pun akan disambut dengan senyum khasnya yang meneduhkan, dan diluruskan dengan kata-katanya yang menyejukkan hati. Subhanalloh..hambaMu yang satu itu ya Alloh, sayangilah dia. Setelah mendapat wejangan ngalor-ngidul akhirnya aku putuskan. Insya Alloh mbak, begitu jawabku.
Lain hari, ke kampus. Sekedar nongkrong melihat orang berseliweran. Akhirnya bertemu teman satu jurusan, walau beda kelas. (eh? Perasaan aku malah lebih sering ngumpul sama anak kelas lain? Dasar kau, el.) oke. Ngobrol ringan mengusir penat atas perbincangan ‘panas’ kemarin. Hmm..
Eh? Ada Mas T. Samperin bentar ah. Minta saran. Berjalan agak gontai, dengan wajah ditekuk, kantung mata terbentuk, gigi merongos… (el, wis tak kandani. Rasah lebay. Okok.) Akhirnya, ngobrol di bawah pohon, di atas kursi taman, angin semilir, daun berguguran… STOP! Ini bukan sinetron. Yak, lanjut.
Obrolan tadi berkesimpulan bahwa, aku harus mendaftar. Biarlah nanti waktu dan lingkungan yang mengajariku. Aku ingin berkontribusi di HIMA jurusanku lewat belajar di Departemen PSDMnya BEM FT. Karena seperti kata Mas T, memang, kalau jurusan lain sekarang tahapannya adalah meneruskan dan mengembangkan sistem. Tapi, nasib memang nasib. Namun ini tantangan. Membangun sistem, begitu yang ada. Sempat disarankan di Departemen Sosial. Tapi aku kekeuh di PSDM. Ngobrol ngalor-ngidul tentang BEM FT, HM, beasiswa pake proposal wirausaha, sampai dipengin-pengini Mas T mau ke Jakarta lihat ekspo wirausaha muda mandiri nginep di hotel mewah gratisan. Duhh..
Setelah konsolidasi dengan ‘partner’ ndaftar-ndaftarku, yak aku bersiap. Bismillah..menyiapkan berkas. Tak perlu terlalu pusing, aku tinggal beberapa copy-paste file-file lama yang pernah aku gunakan untuk mendaftar training. Hanya perlu ditambah esai tentang kondisi di jurusan, yang merupakan hasil ngrusuhi Mas W yang sibuk mengurus SP anak-anak jurusanku. Wis bejamu Mas, dadi Ketua HM.
And the day has come. Interview alias wawancara. Tak karuan rasanya otak ini. Biarlah, aku sudah memutuskan untuk mendaftar, yang ada hadapi saja. Kemudian semua akan selesai.
Wawancara dengan Kadept PSDM. Alot. Mumet. Ingin segera kabur kalau aku tak mengingat motivasiku agar berada disini. Jalani saja, el. Memang, pada akhirnya berakhir. Sumpah, kepalaku langsung pusing berat. Rasanya ingin teriak, atau sekedar ngobol dengan seorang yang ku kenal untuk meringankan ini. Tapi impossible. Tak ada yang ku kenal, dan semuanya sibuk. Teman yang tadi mengantar kesini, harus balik ke kampus nemu pak dosen. Memang nasib. Wawancara kedua, dengan Presiden BEM FT-KM. Alhamdulillah, wawancara berakhir. Wawancara terakhir, syukurlah bisa meng-adem-kan pikiran ini.
Satu hari kemudian. Beberapa jam menjelang pengumuman. Ada satu sms masuk, yang sumpah, membuat kepala ini langsung terasa tak karuan. Intinya, itu sms dari Kadept KP (Public Policy), yang katanya, dapat rekomendasi dari Kadept PSDM untuk memasukkan aku menjadi staffnya. Astaghfirullah..apa lagi ini? Teringat, bagaimana curhatan temenku si A (yang padahal cowok) tentang anak KP yang sangar nan kritis. Tapi aku juga ingat kata-kata Mbak N, dimanapun, ambillah ilmu dari sana dan berkontribusilah dengan ikhlas. Aku balas sms itu, “Insya Alloh iya. Tapi mohon bantuan dan bimbingannya.”
Setelah membalas sms itu, otak ini serasa miring. Berkecamuk, mumet, mikir dewe. Ra karuan seperti itulah. Akhirnya sambil ngemil, nonton TV, kemudian fesbukkan. Kurang lebih satu jam sebelum pengumuman resmi. Aku membuat status di fb. Kalau tidak salah, “Bismillah”. Kemudian komen-komenan panjang dimulai. Komen-komenan sama Mas T tentang sebelum pengumuman. Berakhir dengan wejangan untuk jangan pernah lupa meminta saran ke orang yang bisa memberi saran dan jangan pernah berpikir disana untuk sekedar numpang tenar. Iya, bismillah.
Pengumuman. Selamat bergabung di keluarga besar BEM FT-KM di departemen KP, begitu intinya. Aku pun beranjak tidur. Mempersiapkan esok yang semakin besar. Berat, tapi bisa.
Dari mulai first meeting dengan semua departemen dan PH, sampai membahas proker+lain-lain bersama anak KP. Astaghfirullah..ya Alloh ini berat. Aku benar-benar pusing. Bingung. Harus bagaimana. Aku benar-benar tak tertarik dengan politik praktis, politik keteknikan, apalah itu namanya. Serasa tenggelam di kedalaman. Aku merasa orang-orang ini salah menempatkan aku. Diskusi, perbincangan panas, apalah. Aku pusing. Kemudian hari-hari ku lewati dengan setengah hati, karena kebelum-ikhlasan ini. Tapi aku percaya, Dia selalu mendengar dan Maha Mengetahui. Waktu pun mengobati. Pelan.
Sampai kemudian kemarin. Setelah muter-muter kampus dengan 2 orang temanku, mampir ke perpus. Aku mencoba bermain di propaganda opini. Aku mau belajar jurnalistik. Aku mencari buku tentang jurnalisme. Sampai kemudian, teringat dalam benakku, sebuah judul buku, yang enam tahun lalu disebut oleh temanku. “Catatan Seorang Demonstran”. Yah, bukunya Soe Hok Gie yang pernah menjadi ketua senat di fakultasnya. Jariku kemudian dengan lincahnya mengetikkan judul buku itu ke layar komputer perpus universitas. Ada stoknya, ternyata. Lalu, ‘Tim Pencari Buku’ pun dikerahkan. Iseng sejenak, dan akhirnya aku dapat. Ku kira, buku ini, dapat membantu menggali kembali semangat itu, yang sempat hilang. Dari sini aku memulai kembali.
-di ruang tamu ditemani alunan musik yang begitu syahdu dan cicak yang berdendang. Jumat, 11 February 2011-
ely. hehe
No comments:
Post a Comment