Thursday, November 17, 2016

Mengeja Rindu

Jika kemudian dulu motivasiku adalah "untuk melunakkan hati" dan "belajar peka".
Perlahan..aku memperolehnya. Dari belajar ikhlasnya mereka, sabarnya mereka, dan tangguhnya mereka dalam berjuang.
Maka kini, dalam waktu yang ku taksir kurang dari 6 bulan ini:
Motivasiku terakhir adalah, aku ingin mengeja rindu disini.
Hingga nanti ketika tiba saatnya memang harus pergi, berpisah. Rindu itu nanti telah sempurna aku baca. Sempurna aku membacanya, merasakannya, rindu yang sebenar-benarnya merindu.

Thursday, November 10, 2016

Jejak Langkah Awal Kami

Menapaki langkah-langkah berduri
Menyusuri rawa, lembah, dan hutan
Berjalan diantara tebing curam
Semua dilalui demi perjuangan
Letih tubuh di dalam perjalanan
Saat hujan dan badai merasuk di badan
namun jiwa harus terus bertahan
karena perjalanan masih panjang
Kami adalah tentara Allah
Siap melangkah menuju kemedan juang
Walau tertatih kaki ini berjalan
Jiwa perindu syahid tak akan tergoyahkan
Wahai tentara Allah bertahanlah
Jangan menangis walau jasadmu terluka
Sebelum engkau bergelar syuhada
Tetaplah bertahan dan bersiap-siagalah
….Tetaplah bertahan dan bersiap-siagalah!!
Gunung tinggi menjulang
Samudera luas membentang
Adalah lahan peneguhan
Hutan… Rimba
Padang gersang
Jadi ajang pembuktian
Hujan badai
Terik panas kerontang
Pasti kan hiasi perjalanan
Saat langkah telah diayunkan
Pantang surut kebelakang
Hingga sampai ketujuan
Bertahanlah dan bersiap siagalah


Nasyid "Jejak" oleh Izzatul Islam


Calon Relawan Nusantara Semarang Akhwat


Pra Diksar Relawan Nusantara 2016

Kelompok Keplok-keplok Hore-hore


Sunday, October 30, 2016

Belajar Yuk, Muslimah! (1)

Mau share dari kajian Wisata Muslimah setiap pagi di Masjid Kampus Undip. Kebetulan akhir-akhir ini materinya sesuatu yang sering dijumpai dalam keseharian dengan mudahnya. Misalnya saja tentang pola hidup sehat seorang wanita muslimah. Nah, tidak hanya ruhiyah saja yang perlu menjadi perhatian kita. Tapi juga secara kesehatan fisik. Karena, bagaimana kita bisa banyak bergerak untuk beramal, kalau kita tubuhnya lemah, apalagi sakit-sakitan? Qowiyyul jism makanya turut pula mengiringi hidup syumulnya setiap muslim nih. Amalan harian iya jalan, olahraga untuk kebugaran dan kesehatan tubuh juga!
      Yang belum lama lalu juga ada tentang pemilihan makanan halalan thoyyiban. Halal dan baik. Apa yang dimakan oleh kita, nantinya sari-sarinya akan dibawa darah untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Kemudian sebagiannya menjadi energi, sebagiannya menjadi daging untuk tubuh kita bertumbuh. Tentu ngeri dongs kalau makanan yang kita makan ternyata tidak halal? Alias masih penuh syubhat atau malah-malah haram. Bayangkan makanan itu mengalir ke seluruh badan kita, menjadi penggerak fisik kita? Penggerak pikiran kita? Penuh dengan haram, naudzubillah..ngebayanginnya aja ngeri. So, kita diajari pelan-pelan belajar untuk menjaga apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Bisa jadi kita berikhtiar awal dengan cara mengecek label halal MUI dari setiap makanan kemasan yang masuk dalam tubuh kita. Mulai dari yang sederhana deh.


      The newest, pekan ini. Yang ngisi ibu-ibu ahli psikologi kejiwaan. Beliau sudah biasa menangani pasien jiwa, nah kali ini memangani mahasiswa yang kayaknya rentan sakit jiwa deh. Sakit jiwa macam sakit hati, baperan, mutungan, stress tugas...haha. Tapi saat sesi tanya jawab ternyata banyak pertanyaan yang memang spesifik ke hal kejiwaan. Macam karakter yang mudah emosional, sampai dengan trauma masa lalu. Jadi, isi kajiannya:

Yang mempengaruhi emosi itu ada 3 hal:
a. Faktor Biologis.
    *Genetik----------orang tua pernah menderita depresi.
    *Neotransmitter---hormon serotonin. Serotonin naik, gampang marah. Serotonini turun, gampang depresi.
    *Kecelakaan------pernah kecelakaan.
b. Faktor Psikologis.
     Perkembangan usia dini, apakah ada trauma di masa lampau, pola asuh orang tua.
c. Faktor Sosio-Kultural.
    *Kondisi spiritual diri dan family support.
    *Keadaan ekonomi diri/ keluarga.


Belum kelaar..ini. Tunggu postingan selanjutnya ya, bagaimana cara memanajemen emosi diri (:

Tuesday, October 25, 2016

Yuk, Menabung!

Masih ingat lagu jaman kecil anak 90-an dulu?
Kalau nggak salah...

Bang bing bung yok..kita nabung!
Bang bing bung yok..kita nabung!
Bang bing bung yok..jangan dihitung,
Tau-tau kita nanti dapat untung!

Yeay..emang bahagianya anak jaman 90-an, banyak lagu yang memang cocok buat anak usianya. Nggak kayak jaman sekarang..miris. Tapi bukan itu highlight-nya sih. Yang namanya menabung, kita merelakan sesuatu untuk saat itu, untuk nanti diambil untungnya kemudian hari. Apalagi menabung kebaikan, pasti kelak suatu saat akan tergandakan jadi amalan yang lebih banyak, in sya Allah
Yak, kembali pada topik me-na-bung. Jadi, sudah lebih dari satu bulan ini Allah kasih keluarga baru, dengan ukhuwah yang hangat pula. Keluarga Relawan Nusantara Semarang. Tapi posisi aku dan beberapa kawan yang lain, masih sebagai calon relawan. Nah, karena itu kami melalui beberapa tahap. Salah satunya OJT dengan salah satu programnya Menabung (Menebar Nasi Bungkus).

Menebar Nasi Bungkus

Program ini awalnya diinisiasi oleh kawan-kawan Relawan Nusantara Semarang. Namun akhirnya sekarang menjadi program nasional Relawan Nusantara di semua daerah di Indonesia. Hari wajibnya adalah setiap Jumat ba'da shubuh. Untuk Semarang juga dilakukan di Sabtu dan Ahad malam. Program Menabung ini yang menjadi sasaran adalah para pemulung, tunawisma, tukang becak atau sopir yang sudah nampak sepuh, pengemis, dan penyapu jalanan. Biasanya kami punya titik kumpul, kemudian berbagi spot-spot pembagian menabung.
Ada bermacam rasa dan cerita pastinya yang berbeda setiap hari. Banyak yang tertangkap mata dan telinga kami. Dari mulai ruhul istijabah dan bersabar saat mengumpulkan pasukan menabung, belum lagi bersahabat dengan dingin malam dan juga gerimis hujan. Bahkan pernah qadarullah bensin habis di tengah jalan saat menabung, jadi harus menuntun beberapa kilometer untuk mencari bensin malam-malam sambil tengok kanan kiri siapa tahu ada tuna wisma atau siapapun yang membutuhkan pengganjal perut malam itu. Syukurlah partner menabung malam itu, Mbak Amalia bercanda, "Nggak papa. Udah lama aku nggak jalan-jalan malam kok, apalagi malam minggu gini. Hehe".
Ada juga antara sedih dan bersyukur. Masih ada ya, yang hanya sekedar makan malam saja kesusahan untuk memperolehnya. Padahal lebih seringnya di kosan anak-anak pada bingungnya, malam ini enaknya makan apa ya? Makan dimana ya? Belum lagi yang hobi malam mingguannya nongkrong di kafe, mengeluarkann beribu-ribu rupiah hanya untuk sekedar apalah. Bersyukur kita ada tempat tidur hangat, bersih, berselimut. Makan juga alhamdulillah tercukupi. Hmm..
Ini jugalah salah satu alasan aku mendaftar jadi calon relawan nusantara. Satu hal saja. Aku ingin melunakkan hati. Entah dari saat menjadi perantara berbagi, atau saat mendengar cerita kawan-kawan baru yang semangatnya luar biasa, dan banyak lagi. Karena sesungguhnya hati ini pun punya kecenderungan menjadi keras. Jadi teruslah berdzikir, bersyukur, dan melangkahkan diri di setiap kesempatan kebaikan untuk terus melunakkan hati ini. Jazakumullah khoir kawan-kawan relawan! Tetap semangat, bahagiakan ummat!


Foto Waktu Orientasi Relawan

Habis Diklat 2 Penanganan Kegawat Daruratan
Ada yang ikut Program Cek Kesehatan SD Juara Semarang

Menebar Nasi Bungkus

Saturday, October 22, 2016

Kebetulan yang Nggak Pernah Kebetulan

Can we call it destiny?
Nggak sengaja beberapa hari lalu kepoin instagram temen. Tepatnya temen deket aku jaman TK.
Temen yang selalu aku jagain, walaupun sering juga aku galak sama dia. Tapi kalau ada yang mau ngusilin dia, aku yang terdepan buat ngebelain. Kalau dibawakan bekal ibu aku pun, dia yang pertama aku inget untuk berbagi bekal itu.
Iya, jaman dari TK sampai kelas 4 SD aku terkenal jadi anak yang lumayan bandel, hobi berkelahi, susah diatur deh. Sering juga bikin temen nangis karena isengnya keterlaluan. Ckck..tapi itu dulu kok. Sekarang sudah insyaf, alhamdulillah~
Nah, karena itu semua temen aku jadi takut sama aku, dan selalu 'mengalah'. Hingga kebetulan ada anak baru masuk di tengah tahun kami mau naik TK besar. Nggak tau kena pelet atau apa, tapi sayang banget sama itu anak. Tapi teteeepp..dengan sedikit galak. Bahkan sampai kelas berapa SD...lupa, aku masih sering isengin dia. Dia tipe yang gampang dibully menurut aku. Haha. Baru kemudian SMP, kami benar-benar lost contact.
Memang masih satu sekolah, tapi beda kelas. Beda temen main, jadi akhirnya kalau nggak sengaja papasan pun jadi rada canggung buat sekedar say hello :(
Hingga...beberapa hari lalu nggak sengaja inget nama temen TK aku itu. Daaannn..I got goseebumps! Ada salah satu foto di instagram dia yang nampak begitu familier di mata aku. Mungkin bagi orang yang biasa lewat sana, itu biasa aja. Tapi kebertepatannya, itu foto salah satu yang memorable buat aku. Foto yang diambil pas beberapa waktu lalu keluar kota berempat sama temen kuliah. Di spot yang sama, agak beda anglenya, timingnya nyaris sama di waktu senja jelang malam. Bedanya dia ambil foto tsb 2 tahun yang lalu, dan aku ambilnya baru sekitar 2 bulanan yang lalu, dan kualitas kameranya. Haha
Why so special? Karena aku baru pertama kali kemaren banget buka instagram diaaa, terus lihat foto itu :"


Ini foto di IG temen aku

Ini foto dari kamera hape aku

Tuesday, September 20, 2016

Sunday, September 18, 2016

Lingkaran Cinta

Berawal dari masa ketika masih putih abu-abu. Dari sekadar formalitas, karena dulu di sekolah saya ini adalah program wajib minimal satu tahun. Disertai pula dengan embel-embel bagi yang tidak ikut selama satu tahun, tidak akan mendapat sertifikat lulus kegiatan mentoring, yang nantinya akan menemui kesulitan saat pengurusan ijazah kelulusan. Alhasil saya berusaha ‘bersemangat’ untuk mengikuti. Sampai kemudian tiba di akhir tahun pertama menjelang kenaikan kelas. Pilihan diberikan, mau lanjut atau tidak dipersilakan. Saat itu saya sudah memutuskan akan menyampaikan untuk berhenti dulu di pertemuan terakhir mentoring. Namun ternyata, mbak mentor saya menyarankan dengan meyakinkan saya untuk lanjut. Berhubung saya merasa tidak enakan dengan beliau, akhirnya luluh juga untuk lanjut.
            Dari sini mulai bermula rasa yang lebih berbeda. Dikenalkan beliau dengan istilah halaqah, atau bahasa singkatnya liqo. Hingga kemudian saya mulai menikmatinya. Bagi saya halaqah saat itu adalah tempat berteduh yang sangat ditunggu. Belum juga kelas usai, masih sekitar satu jam sebelum diakhiri, saya dan kebetulan seorang kawan sekelas yang satu halaqah dengan saya sudah tak sabar menanti untuk segera liqo usai pulang sekolah. Tempat kami berbagi cerita bahagia, berbagi rasa sedih, berbagi dan memperoleh ilmu agama tentunya, dan sesi qodhoya-rowa’i kala itu sangat terasa paling panjang karena selalu diiringi dengan curhat. Saling berbagi informasi dan juga menguatkan di organisasi yang diikuti masing-masing. Hingga akhirnya fase putih abu-abu itu berpindah ke fase kampus.


            Pertama kalinya berada di dunia “luar” yang jauh berbeda. Bukan lagi comfort zone layaknya dulu yang begitu mudah menjumpai lingkaran-lingkaran entah di halaman sekolah, di serambi masjid, di pinggir lapangan, di kelas, dimana saja hampir setiap hari dijumpai sekelompok lingkaran. Hingga qadarullah, dipertemukan lagi dengan lingkaran yang baru. Kultur dan karakter yang cukup terasa berbeda karena berbagai kondisi yang lebih heterogen. Hingga kemudian Allah menakdirkan saya untuk belajar berbagai rasa disini. Rasa yang sama dan berbeda. Manusiawi mungkin kalau dalam kamus otak saya kala itu mencoba membandingkan rasa yang berbeda itu. Namun Allah tidak berhenti membiarkan saya memanusiawikan rasa itu.
            Hingga kemudian dari sana saya belajar banyak. Tentang empati, bersabar, memahami, memperbaiki amalan harian, komitmen, bahkan sampai cara mengusir kegalauan. Berbeda kondisi akademis, aktivitas lembaga, latar belakang keluarga, menjadi bumbu penyedap tersendiri. Bersyukurnya murobbiyah kami adalah seorang yang penyabar, penyayang dan tangguh. Menguatkan kami dan mengingatkan kami. Walaupun pernah suatu ketika saya merasa kecewa terhadap beliau, tapi kemudian saya menyadari bahwa titik penyebabnya sebenarnya saya sendiri. Ada nasehat dari beliau yang masih saya catat: Sesungguhnya Allah sedang menguji, barangsiapa bersabar, Allah akan memberikan pahala yang besar. Sesungguhnya pelipur lara seorang dai adalah ketika bertemu dengan saudaranya, ia mendapatkan energi dari saudaranya, tidak semua orang mampu mengambil sisi ini, hanya orang-orang yang mampu melapangkan dadanya lah yang bisa. Manfaatkan persahabatanmu dengan siapapun sebagai ajang belajar. Karakter apapun yang Allah hadirkan, sesungguhnya Allah sedang berusaha memperbaiki kekurangan kita.
            Bersyukurnya Allah masih memberikan kesempatan hari ini saya berada dalam lingkaran-lingkaran tersebut. Allah masih akan terus hadirkan kekurangan diri kita untuk akhirnya perlahan-perlahan kita memperbaikinya. Dalam proses perjalanan ini, perlahan saya mulai menyadari. Bukan tuntutan untuk pribadi yang harus kita kedepankan. Karena sesungguhnya ketika kita melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab bersama, dari sana pula kebutuhan kita tercukupi lebih. Berkali-kali pula ujian komitmen dan keistiqomahan hadir. Saya pun mulai belajar bahwa ada hal yang lebih besar untuk kita perjalan-kan bersama dalam langkah ini. Ada pula yang harus kita ingat, bahwa mentor kita, murobbiyah kita, pun adalah manusia dengan keterbatasan 24 jam mereka. Murobbiyah kita adalah manusia yang Allah pilihkan untuk kita. Allah memilihkannya langsung untuk menguatkan kita dalam perjalanan ini. Layaknya kelakar Ali bin Abi Thalib kepada seorang rakyatnya yang menuntut dia dalam hal memimpin, murobbiyah kita adalah cerminan diri kita. Seorang pemimpin akan nampak sangat baik, jika rakyatnya juga orang-orang yang mencintai pemimpinnya dan patuh padanya, serta menguatkan kepemimpinannya.

            Halaqahku kini dan nanti. Bahwa ini tidak sekedar pencapaian bagaimana kita terpuaskan oleh rasa ukhuwah dan ilmu saja. Tapi juga iman, dan terus membersamai dalam perjalanan dakwah. Jikalau kemarin masih banyak kekurangan, pandanglah diri kita sendiri. Perlahan memperbaiki, tapi istiqomah, untuk tidak kemudian mudah menghilang atau jatuh lagi. Karena boleh jadi, hadirnya kita untuk disini bukan agar kita banyak menerima, bukan agar batin kita selalu bahagia, namun hadirnya kita semua disini adalah untuk banyak member, menebar manfaat.

Allah hadirkan mereka

Sebuah nasehat yang dulu beliau nasehatkan padaku:

“Manfaatkan persahabatanmu dengan siapapun sebagai ajang belajar. Ketika berbicara, jadikan itu sebagai latihan untuk memperhalus tutur kata dan mempercantik budi bahasa, Jadikan temanmu sebagai salah seorang guru yang mengajarmu budi pekerti ddan akhlak mulia”.
Karakter apapunyang dihadirkan Allah lewat teman kita, sesungguhnya Allah sedang berusaha untuk memperbaiki kekurangan kita....


Monday, September 5, 2016

Karena Ukuran Kita Tak Sama

Ingin mengutip tulisan Salim A. Fillah dalam bukunya "Dalam Dekapan Ukhuwah". Yang disini saya ambil dari web beliau. Spesial untuk Gathering Wisma FT-FH malam ini.
Sekalipun banyak kekurangan dalam kelancaran lisan, semoga manfaatnya tidak berkurang :)
Semarang, 05 September 2016 @Wisma Multazam

Karena Ukuran Kita Tak Sama
Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Friday, September 2, 2016

Emak, Bapak, aku Lulus!

Late post---pake banget.
Iya ini adalah jawaban. Dari sekian banyak post kegalauan dulu, walaupun tidak semua kegalauan yang pernah ada di blog ini hanya tentang ini. Yah, salah satu dari sekian.
Allah menjawabnya dengan salah satu nikmatnya, akhirnya wisuda. Terjawab sudah harap cemas, khawatir, dan berjuta rasa lainnya. Tepat di ujung tanduk itu, lepas kemudian sejumput khawatir dan ketakutan yang sekian lama menghinggapi. Seperti pernyataan klasik, tapi ini bukan akhir. Justru awal yang baru, untuk melebarkan sayap mimpi, harapan, dan membuka mata lebih. Semoga pun, Allah memberikan barokahNya, agar apa yang akhirnya teraih ini tak sekadar manis di awal. Tapi juga manfaat. Karena hasil tak akan mengkhianati usaha keras kita---beserta doa yang selalu memeluk kita dalam harap.
31102015

Bersama Bapak, Ayah Juara Satu Se-Dunia

Kawan Fakultas Teknik
Terimakasih untuk Tanda Sayangnya Teman-teman :"

Sunday, August 28, 2016

Reminder


Selama Allah masih memberi kita nafas untuk hidup, maafNya sungguh luas.
Seberapa cepat kita menjemput.
Seberapa cepat kita meminta.
Seberapa hati ingin bersegera.

Taken from http://lionofallah.com/

Monday, June 6, 2016

Pucung Time

Ibaratnya penghuni bonbin, ini sudah sekelas Afrika! Spesies lengkap. Keanekaragaman hayati Desa Pucung, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang. Cukup 20 hari, tapi penuh memori. Bersyukur dan amat bahagia bertemu kalian. Kangen juga masakan Bu Lurah yang selalu menggoda selera untuk makan 4 kali dalam sehari. Aroma kopi dari pagi-pagi sekali sampai aroma kopi jelang malam untuk lembur. Sangat rindu juga dengan pemandangan bukit hijaunya, dan kebahagiaan sederhana pergi ke pasar di Salatiga. Pace, mace, see you next better time!

Survei Awal

Waktunya Ngecat Tempat Sampah

Selfie dulu yuk!

Lomba Kreasi Potensi Desa

Rempong Time ._.

Foto dengan Ibu Lurah Tersayang dan Pamitan
Pucung, Bancak, Jawa Tengah
Februari-Maret 2016